Sejarah membuat Pemerintah Kota Yogyakarta (Pemkot Yogyakarta) mengubah kembali 600 nama jalan yang tersebar di Kota Yogyakarta. Sebab, perubahan nama jalan untuk mengembalikan ciri khas Kota Yogyakarta yang tidak sesuai lagi dengan filosofi terhadap kota yang penuh dengan perjalanan sejarah.
Namun, dari beberapa pemberitaan yang ditulis beberapa media masa, sama sekali tidak disinggung bagaimana makna dan filosofi sejarah itu. Sehingga masyarakat Kota Yogyakarta, khususnya generasi mudanya tidak paham dengan filosofi perjalanan sejarah tersebut.
Pada tahap awal, dari sebanyak 590-600 nama diawali perubahan tiga ruas jalan besar di Kota Yogyakarta. Ketiga jalan itu adalah Jalan Mangkubumi-Jalan Ahmad Yani dan Jalan Trikora.
"Ketiga nama ruas jalan tersebut disesuaikan dengan filosofi Yogyakarta termasuk keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sesuai rencana, Jalan Mangkubumi akan berganti nama menjadi Jalan Margo Utamo, Jalan Ahmad Yani menjadi Jalan Margo Mulyo dan Jalan Trikora menjadi Jalan Pangurakan," ungkap Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta Edy Muhammad di Yogyakarta.
Perubahan nama berdasarkan masukan dari Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X serta budayawan-budayawan lain. Kemudian secara teknis akan dilakukan pada triwulan keempat. Sebelumnya, akan dilakukan sosialisasi untuk mengetahui masukan dari masyarakat.
Rencana ini menggunakan dana APBD Perubahan 2013. Untuk tulisan jala akan menggunakan huruf Indonesia dan Jawa, disertai dengan jenis dan tipe jalan.
Jalan Mangkubumi-Jalan Ahmad Yani dan Jalan Trikora diubah karena dinilai lebih cocok jika menggunakan nama-nama yang berasal dari sejarah Yogyakarta. Sri Sultan HB I, mempunyai sejarah dan filosofi yang sangat luar biasa. Saat momen-momen penting, seperti Grebeg Maulud Nabi, Grebeg Syawal dan lainya Sri Sultan selalu duduk di Bangsal Manguntur Tangkil di Siti Mahinggil. Manguntur Tangkil berarti menghubungkan diri dengan Allah seperti semedi.
"Sultan menghadap ke Utara lurus dengan titik view (pandang) Tugu Yogyakarta bersifat golong-giling, bulat di atas silinder ke bawah. Tidak ngomong apa-apa alias semedhi. Dengan pemikiran dan nurani persatuan dan kesatuan. Yang golong-giling hubungan dengan maha kuasa biasa disebut habluminallah. Dengan rakyat silinder ke bawah biasa disebut habluminannas. Seorang raja harus dekat Yang Maha Kuasa. Maka harus bisa jadi contoh rakyatnya," ungkap Kepala Kantor Dwarapura Kraton Yogyakarta KRT Jatingingrat.
Filosofi semedhi raja, ungkap Jatiningrat yang biasa dipanggil Romo Tirun Marwito ini, Raja menghadap ke Utara dari keraton melewati beberapa jalan dengan nama-namanya zaman dahulu adalah sebagai simbol pesan, simbol proses ritual diri. Yang bisa menjadi cerminan sepak terjang seorang pemimpin. Simbolnya dari keraton, kemudian alun-alun melewati Pasar Bringhardjo. Pasar diibaratkan sebagai tempat godaan.
"Di Pasar Bringhardjo ada uang, perdagangan, perempuan. Setelah itu ke utara lagi melewati Kepatihan yang saat ini sebagai kantor Pemrov DIY adalah simbol godaan jabatan. Simbol kekuasaan dimana mementingkan memerintah itu tidak baik," ungkapnya.
Maka dari itu, perlu adanya pengembalian filosofi sejarah dengan mengembalikan nama asli ratusan jalan di Kota Yogyakarta diawali dengan tiga ruas jalan. Supaya nama jalan itu membawa pesan filosofi sejarah yang bisa diambil hikmahnya oleh generasi muda saat ini.
"Ada tiga jalan yang diubah sesuai dengan filosofi sejarahnya untuk tahap permulaan perubahan kembali jalan di Kota Yogyakarta. Pertama, jalan Trikora dirubah (menjadi Jalan Pengurakan)-Jalan Ahmad Yani (Jalan Margomulyo)- Jalan Malioboro (tetap) dan Jalan Mangkubumi (Jalan Margoutomo) dan penghabisanya di Tugu Yogyakarta," tuturnya.
Perubahan nama jalan itu menurut Jatinigrat bermakna, seperti tujuan ritual Sri Sultan pendahulu untuk menghilangkan hawa nafsu jelek (Pengurakan), menuju jalan kemulyaan (Margomulyo), lewat ajaran para wali (Malioboro), meraih keutamaan (Margoutomo) dengan memelihara hubungan antara Tuhan dan manusia (simbol Tugu Yogyakarta).
"Filsosofi ini harus dilakukan oleh seorang pemimpin dimanapun. Sehingga manunggaling kawulo lan Gusti bisa tercapai. Apalagi zaman sekarang ini menunggaling kawula dan pimpinannya sudah susah. Karena itu ajaran sinuwoko maka harus tetap dipertahankan dan dikembangkan dengan adanya undang-undang Keistimewaan Yogyakarta saat ini," jelasnya.
Selain ketiga ruas jalan yang dirubah pada tahap awal itu, masih banyak jalan lain yang akan menjalani proses perubahan. Perubahan jalan itu mestinya harus diimbangi dengan penjelasan sebetulnya apa makna filosofi dan pendahulu memberikan nama sebuah jalan. Yang mestinya di balik nama jalan akan ada hikmah dan pelajaran yang dapat dipelajari dan menjadi tauladan generasi muda saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar