Jam ini dibangun pada 1926, sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada sekretaris kota. Hingga kini menara Jam Gadang masih menjadi bangunan tertinggi di Bukittinggi.
Jam Gadang dilengkapi lonceng besar di bagian atasnya. Di lonceng itu tertera pabrik pembuat jam: “Vortmann Relinghausen, I.W Germany”. Vortman adalah nama belakang pembuat jam ini, Benhard Vortmann. Recklinghausen adalah nama kota tempat mesin jam diproduksi di Jerman pada 1892.
Karena uniknya mesin jam ini, tidak ada montir yang bisa memperbaiki. “Jadi kalau rusak atau macet, kami perbaiki sendiri,” kata Yusrizal, satu dari empat petugas penjaga jam.Para penjaga tak pernah belajar memperbaiki mesin jam secara formal. Pengetahuan teknis mengenai jam ini diajarkan secara turun-temurun dan terbukti berhasil karena kerusakan kecil pada jam selalu berhasil diperbaiki oleh mereka.
“Kecuali saat gempa tahun 2007. Bandul jam sempat patah dan harus diganti,” kata Andre, petugas jaga yang lain. Gempa di Padang tahun 2010 juga membuat dinding menara retak, namun tak merusak mesin jam.
Andre dan Yusrizal sedang bertugas jaga siang, bergantian dengan dua orang petugas yang akan berjaga pada malam hari. Empat orang itulah yang melakukan seluruh pemeliharaan. Mereka bertugas merawat jam, menjaga keamanan, hingga menyapu lantai. Kecuali telah mendapatkan izin, pengunjung dilarang memasuki bagian dalam menara.
Bagian dalam menara terdiri dari beberapa tingkat. Tingkat paling atas adalah tempat penyimpanan lonceng. Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah. Menaiki tangga kecil ke atas cukup menguras tenaga. Tetapi perjuangan menaiki anak tangga itu tentunya terbayar.
Bagian dalam jam yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Foto: Famega Syavira
Mesin jam yang keahlian memperbaikinya dipelajari secara turun-temurun. Foto: Famega Syavira
Dari atas menara, tampaklah kota yang dikeliligi tiga gunung: Singgalang, Merapi dan Sago.
Jam Gadang menjadi pusat penanda kota Bukittinggi. Acara-acara kota biasanya diselenggarakan di lapangan dekat menara ini. Salah satunya sebagai titik dimulainya etape ke-4 Tour de Singkarak pada 9 Juni 2011.
Tempat ini juga menjadi ruang interaksi favorit warga. Pada hari kerja pun lapangan di sekitar Jam Gadang tampak ramai. Anak-anak berlarian dan bermain dengan gelembung sabun, sementara orangtua mereka duduk-duduk di keteduhan. Sebuah ruang publik gratis yang seharusnya ada di setiap kota di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar